Home

Friday, September 17, 2010

Erwin Tenggono, Panglima Bisnis Distribusi Dexa Medica

Posted by Arfiyan Setiawan | On: , |

Erwin Tenggono, Panglima Bisnis Distribusi Dexa Medica
Kamis, 09 Juni 2005
Oleh :

Energik, antusias dan smart. Begitulah kesan yang terpancar dari Erwin Tenggono ketika kami mewawancarainya di lantai 10 Graha Elnusa, Jl. TB Simatupang sore itu. Direktur Pengelola PT Anugrah Argon Medica (AAM), salah satu anak usaha Grup Dexa Medica itu tampak sungkan ketika kami menanyakan perannya dalam membesarkan AAM. “Semuanya hasil kerja tim,” ujar pria berbadan tinggi besar ini merendah.

Agaknya kesan itu tak berlebihan ketika kita menelisik perjalanan karier pria kelahiran Palembang, 37 tahun lalu ini di AAM. Lebih menarik lagi, ia memulai karier hanya bermodal ijazah SMA pada 1986. Posisi awalnya relatif rendah, yakni staf administrasi pergudangan. “Saya sebenarnya bercita-cita menjadi dokter tapi tidak ada dana,” ujar sulung 6 bersaudara dari pasangan Kiantara Tenggono dan Chandrawaty, pedagang kelontong di Palembang ini. Praktis, sejak itu sampai sekarang — selama 18 tahun kariernya — ia mengabdi untuk AAM.

Dengan pengabdian selama hampir dua dekade, tak heranlah Erwin memiliki pengalaman dan pengetahuan kerja yang lumayan komplet di AAM. Ia tak hanya memahami pergudangan, pengelolaan keuangan, tapi juga sistem informasi.

Setelah empat tahun bekerja di AAM, pada 1990 ia memperoleh kepercayaan sebagai treasurer, yang dijalaninya hingga 1993. Pada kurun 1993-95 ia dipercaya memegang posisi yang lebih tinggi, walaupun berlainan dengan bidang sebelumnya, yakni sebagai Manajer Sistem Informasi Pemasaran Dexa Medica. “Di bagian pemasaran, saya mulai mengenal dan bekerja sama dengan Pak Ferry Soetikno yang baru pulang sekolah dari Amerika Serikat,” ungkap suami dari Fauzia Kartini Chandra (32 tahun) ini. Uniknya, tiga tahun kemudian ia balik lagi ke bagian keuangan dan diposisikan sebagai Financial Controller AAM (1996-99).

Tahun 1999 bagi Erwin merupakan tahun yang mengesankan dalam perjalanan kariernya. Sebab, pada Juli 1999 ia dipercaya sebagai Manajer Operasional Nasional. Dengan posisi itu ia bertanggung jawab atas hasil kerja 27 cabang AAM di seluruh Indonesia “total kini AAM memiliki 32 cabang. Tampaknya, karena melihat keberhasilannya, setahun kemudian Erwin dipromosikan sebagai General Manager AAM.

Pencapaian karier yang lebih mengesankan lagi terjadi ketika ia diangkat sebagai Direktur Pengelola AAM pada 2002. Dengan posisi ini, Erwin berhasil menunjukkan bahwa seseorang yang memulai kariernya dari posisi terendah pun bisa memimpin AAM, perusahaan yang dikenal sebagai salah satu pemain besar di bidang distribusi obat dan alat kesehatan saat ini. “Saya selalu mencari nilai tambah, sehingga saya memiliki perbedaan yang positif, kreatif dan inovatif,” ujar ayah dari Girvan Christian (7 tahun), Helena Christie (lima tahun) dan Ingleberg Christiansen (empat tahun) ini

Kini Erwin boleh merasa bangga. Pasalnya, AAM diklaimnya menguasai 15,5% distribusi produk farmasi etikal di pasar Indonesia. Boleh dibilang, perusahaan beromset sekitar Rp 2 triliun ini market leader dalam pemasaran produk etikal. Rata-rata pertumbuhan AAM per tahun 25%-30%. “Kami selalu membuat target di atas pertumbuhan industri ini,” ujar sarjana akuntasi dari sebuah universitas swasta di Palembang itu.

Untuk mencapai kinerja tersebut, peran Erwin amat menonjol. Antara lain, AAM melakukan terobosan di bidang TI, dengan tujuan memperbaiki dan meningkatkan kualitas manajemen, jaringan distribusi dan SDM. “TI adalah solusi yang terbaik untuk kinerja kami,” ujar penyandang MBA dari Prasetiya Mulya ini. Solusi TI yang sudah diimplementasi AAM antara lain solusi enterprise resource planning, supply chain management, Infostep, dan advance supply planning. Yang terakhir itu konsep untuk membangun keterpaduan logistik dari perencanaan kapasitas produksi di pabrik sampai pengiriman ke pelanggan. Yang tak kalah penting, AAM juga sudah menerapkan konsep manajemen modern, misalnya balanced score card.

Sebenarnya, dijelaskan Erwin, sejak 2001 solusi-solusi tersebut sudah diperkenalkan AAM, tapi implementasinya baru dilakukan pada 2002 dan selesai pertengahan 2003. “Kami menghabiskan dana sekitar US$ 1,5 juta,” ujarnya. Jadi, boleh dibilang, sejak 2003 pelbagai solusi itu sudah di-roll out ke seluruh cabang AAM di Indonesia.

Menurut Erwin, alasan pembenahan manajemen dengan memanfaatkan pelbagai solusi TI antara lain karena persaingan yang makin ketat di kalangan distributor. “Kami bukan perusahaan logistik, karenanya kami harus kuat di pelbagai channel,” ujarnya. Alasan lain, disebutkan Erwin, karena tuntutan prinsipal — kebanyakan perusahaan multinasional — yang ingin tahu persis peta pasar produknya. Contohnya, dengan layanan Infostep, prinsipal bisa mengakses layanan informasi mutakhir berisi data kinerja penjualan, stok, dan produk prinsipal melalui ponsel, PC, PDA dan sejenisnya.

Berkat terobosan TI ini, diklaim Erwin, kepercayaan prinsipal meningkat. Alhasil, sejak aplikasi tersebut diimplementasi, tiga perusahaan multinasional terdaftar menjadi mitra baru (prinsipal) AAM, yakni: Tanabe Indonesia (perusahaan farmasi asal Jepang), Becton Dickinson (perusahan alat kesehatan asal AS), dan Servier Indonesia (perusahaan farmasi asal Prancis). “Saat ini ada 18 prinsipal dari luar negeri yang diageni AAM,” ucapnya.

Berikutnya, Erwin berencana meluncurkan satu solusi computerized lagi, yakni customer relationship management, yang ditujukan untuk para pelanggannya seperti apotek dan toko obat. Tujuannya agar mereka lebih mudah berkomunikasi dan berinteraksi dengan AAM. “Kami masih menunggu kesiapan pelanggan. Kami perkirakan butuh waktu 2-3 tahun ke depan,” ujar pengagum Henry Ford, Jack Welch dan Matsushita ini optimistis. Ia juga yakin implementasi aplikasi ini bagi AAM tak akan memakan investasi besar, karena tinggal mengekstensi dari solusi yang sudah ada di AAM.

Pehobi sepak bola ini menargetkan ke depan AAM bisa menjadi pemain regional di kawasan Asia yang diperhitungkan. “Paling tidak lima tahun lagi,” ujarnya, sambil tersenyum. Karenanya, ia menilai, untuk sukses AAM juga harus berani tampil beda dan selalu mencari nilai tambah“ seperti prinsip yang ia pegang dalam membangun kariernya.

Yuyun Manopol dan Dede Suryadi.

Indri Hidayat,

Sang Arsitek SDM

Ishak Rafick

Selama 20 tahun menjadi profesional di bidang sumber daya manusia, Indri Hidayat jelas memiliki pengalaman seabrek. Kemampuannya bahkan telah digembleng di berbagai perusahaan multinasional seperti IBM, Freeport Indonesia dan Citibank. Setelah puas menggembleng diri di deretan perusahaan raksasa itu, November 2002 Indri bergabung dengan Grup Dexa Medica.

Itu memang pilihan yang sulit, menurut Indri, karena pada saat hengkang dari Citibank, ada tiga perusahaan multinasional yang menawari dia posisi. “Saat itu saya sempat bingung. Saya butuh waktu 6 bulan untuk mengambil keputusan bergabung dengan Dexa. Itu pun setelah head hunter menyarankan saya untuk menemui Ferry Soetikno, Direktur Pengelola Grup Dexa,” tuturnya.

Menurut Indri, Ferry telah memperlakukannya bak seorang calon investor yang mau memasukkan dananya ke perusahaan. “Pertemuan pertama Ferry lebih banyak mempresentasikan Dexa kepada saya dan tentang industri farmasi, yang kebanyakan bagi saya merupakan sesuatu yang baru,” papar wanita kelahiran Malang itu. “Pertemuan pertama itu telah membuat saya kagum pada Ferry dan setengah kepincut,” tambahnya becanda. “Pada pertemuan kedua Ferry banyak bertanya tentang pengalaman saya di perusahaan-perusahaan lain. Lalu pada pertemuan ketiga, dia banyak menggali visi ke depan saya,” sambung Indri.

Ferry menawari Indri posisi Direktur SDM Korporat. Kebijakan SDM di grup usaha itu diserahkan sepenuhnya kepada Indri. Waktu itu sudah ada tiga manajer SDM, masing-masing untuk anak-anak perusahaan di lingkungan Grup Dexa Medica yakni PT Dexa Medica, PT Ferron Pharmaceutical dan PT Anugrah Argon Medica. Tugasnya masih bersifat operasional day to day seperti rektrutmen dan semacamnya. Setelah grup ini memiliki karyawan 4 ribu lebih, diperlukan sistem yang lebih komprehensif. Itulah yang diinginkan Ferry. Pokoknya, di mata Ferry waktu itu, Grup Dexa harus dibawa menuju perusahaan dengan corporate culture yang jelas, sehingga bisa berkembang terus menjadi lebih baik, dan profesional baik terhadap rekan kerja maupun klien.

Indri kemudian menerapkan competency based management (CBM) di Dexa. Bila dulunya manajer SDM cuma mengurusi personalia, rekrutmen, penggajian dan pekerjaan yang bersifat administratif, kini semuanya berbeda. Contohnya, bila ingin menggambil orang yang mau dipekerjakan di lapangan. Dulu kriterianya minimal lulusan D-3 bidang eksakta, umur maksimal 28 tahun dan memiliki motor. Indri menganggap itu cuma sebagai patokan dasar. Dia berusaha mencari kompetensi orang bersangkutan dengan memasukkan keinginan dan motivasi untuk mencapai sesuatu, serta interpersonal skill yang baik. Sementara product knowlage-nya sendiri, lanjut Indri, bisa diisi kemudian. Sistem ini lalu disempurnakan Indri tahun 2003 dengan sistem penggajian. Untuk sales representative, misalnya, Dexa menerapkan filosofi 3P yaitu pay of profession, pay of performance dalam bentuk insentif, dan pay of person yang terkait dengan kompetensi.

Konsep lain yang dikembangkan ibu dari Hendra Mahendra dan Mita Mariska itu adalah balance score card (BSC). Yang belakangan ini lebih dikaitkan dengan manajemen, bukan orang. “Saya mengembangkan konsep CBM, dan mengelola kinerjanya dengan BSC,” ujar pehobi tenis itu. Aspek yang menjadi perhatian di sini antara lain profitabilitas yang berhubungan dengan perusahaan. Juga, hal yang berhubungan dengan customer (tingkat kepuasan konsumen, customer image, dan lain-lain), serta aspek proses bisnis internal (produksi, pemasaran, distribusi dan lain-lain) yang dikelola sedemikian rupa agar hasilnya bagus. “Saat ini hasilnya belum kelihatan, karena CBM baru akan terlihat hasilnya minimal setelah tiga tahun,” Indri menjelaskan.

Selain itu, Indri juga menerapkan talent management. Caranya dengan melakukan segmentasi untuk mencari talenta-talenta yang menjadi andalan berdasarkan kompentensi dan kinerja orang per orang. Ini pada gilirannya berpengaruh terhadap kesempatan mengikuti pelatihan dan pengembangan karyawan. Sejak November 2002 Indri telah menetaskan 20-30 kebijakan yang berkaitan dengan SDM. Meski itu merupakan wewenangnya penuh, Indri mengaku, selama ini dia selalu meminta pendapat dari Erwin dan Djoko Sudjono sebelum meluncurkan kebijakan tertentu. “Tugas saya membuat policy, advisory pada manajer SDM, dan melakukan monitoring terhadap kebijakan yang diputuskan,” tuturnya.

Indri terdiam sejenak ketika dimintai komentarnya tentang Sang Direktur Pengelola. Menurutnya, Ferry memiliki visi ke depan yang sangat jelas dan memiliki kemauan yang sangat besar untuk mencapainya. “Bagi Ferry tidak ada kata gagal,” ujar Indri. “Ferry sangat sadar kesulitan akan selalu ada, karena itu dia mempersiapkan senjata yang diperlukan dengan teliti,” sambungnya. Kesehariannya, lanjut Indri, Ferry cukup serius, disiplin dan tidak mencampurkan pekerjaan dengan keperluan sosial. Hubungannya dengan bawahan dan orang-orang di level bawah sangat dekat, dan dia membuka akses ke mereka lebar-lebar, sehingga dia mudah mengetahui setiap perkembangan.

Reportase: Darandono.

Wimala Widjaja:

Masa Depan TI Dexa di Pundaknya

Sudarmadi/Dedi Humaedi

Di Grup Dexa Medica (DM), Wimala Widjaja memang bukan orang lama. Ia bahkan baru resmi bergabung pada Februari 2005. Namun, tak bisa dibantah, kini di pundaknyalah terpikul tugas berat pembenahan bidang teknologi informasi (TI) grup ini. Oleh pemilik DM, Wimala memang “dibajak” untuk membangun sistem TI yang mumpuni agar kelompok perusahaan ini bisa bergerak cepat, efisien serta mampu menangkap peluang meraih pendapatan baru. Maklum, pemilik DM sudah menancapkan visi: ingin menjadi pemain besar di tingkat regional, tak hanya nasional. Lebih dari itu, mereka juga meyakini, TI merupakan bagian dari instrumen penting untuk memenangi persaingan di kancah regional itu. Tak mengherankan, Wimala langsung didaulat mengisi jabatan Chief Information Officer Korporat.

Untuk memenuhi kebutuhan masa depan DM, kualifikasi Wimala memang amat dibutuhkan. Ia memiliki pengalaman bidang manajerial TI yang cukup memadai di lingkup regional. Maklum, selama 1998-2004 ia bertugas di IBM Asia Pasifik dengan cakupan wilayah kerja yang tentu saja meliputi semua negara di kawasan itu. Mantan Direktur Pemasaran IBM Indonesia ini memang cukup kenyang menangguk pengalaman di perusahaan high tech multinasional itu. Boleh dibilang, Wimala tumbuh dan matang di IBM.

Masuk dari level paling bawah di IBM, yakni sebagai marketing trainee pada 1979, skill TI Wimala senantiasa terasah hingga posisinya terus naik. Di IBM Indonesia karier tertingginya adalah Direktur Pemasaran, dan sejak 1999 ditugaskan menangani pasar Asia Pasifik, berkantor pusat di Singapura. Di wilayah Asia Pasifik, ia pernah ditugaskan mengelola produk IBM untuk industri keuangan, selain juga pernah dikaryakan di divisi consulting. Terakhir, tahun 2004, ia dipercaya sebagai Advokat Merek yang menangani bidang penjualan hardware dan software IBM untuk kalangan usaha kecil-menengah di semua negara Asia Pasifik yang bernilai jutaan US$, sebelum akhirnya hinggap di DM. “He is one of the best, kan,” kata Ferry Soetikno, CEO DM, kepada SWA, membanggakan anak buahnya itu.

Kesediaan Wimala pindah ke DM memang mengundang pertanyaan kalangan industri. Ia sendiri mengungkapkan, kesediaannya itu antara lain karena melihat pemiliknya yang cukup visioner. “Bagaimanapun, saya ini bukan tipe kutu loncat,” ujar pria yang 25 tahun bekerja di lingkungan IBM ini menegaskan. Setidaknya ia mengaku membutuhkan waktu hampir 6 bulan untuk mempelajari dan mengetahui lebih detail tentang DM secara menyeluruh. Bahkan, ia sempat meminta waktu seharian penuh untuk bertemu jajaran pimpinan grup ini. Prosesnya tak hanya diskusi, tapi ia juga sempat meninjau pabrik DM pada hari yang sama.

Dari pertemuan itu, Wimala mendapatkan berbagai masukan sekaligus kesimpulan positif. Ia melihat jajaran manajemen DM sangat profesional dan berpikiran maju. Ia punya kesan, kendati bukan perusahaan publik, DM hampir tak ada bedanya dari perusahaan publik. Proses pendelegasian wewenang, misalnya, berlangsung efektif dan profesional. “Dari situ saya mulai yakin bahwa tidak salah kalau bergabung dengan Dexa,” Wimala mengenang. Apalagi, ia cukup terkesan dengan sikap dan gaya kepemimpinan Ferry. Saat diajak meninjau pabrik DM di Cikarang, ia melihat Ferry begitu dekat dengan karyawan, termasuk yang levelnya terbawah. “Beliau tak hanya kenal orangnya, tapi juga tahu namanya,” ujarnya kagum. Hal itu, menurut dia, menunjukkan karakteristik pemimpin yang baik karena tak hanya duduk di menara gading sebagaimana kebanyakan CEO.

Selain pertimbangan tersebut, Wimala juga melihat potensi industri farmasi ke depan amat bagus. Belum lagi, DM terbilang perusahaan farmasi yang mampu berkembang melebihi perkembangan industrinya. Yang lebih penting lagi, dikatakannya, manajemen DM sangat apresiatif terhadap pemanfaatan TI untuk menopang bisnis. “Peluang dan tantangan menjadi pertimbangan utama saya untuk pindah,” kata magister teknik dari Universitas Indonesia ini. Cara pandang terhadap TI yang positif itulah yang melecut Wimala mau menerima pinangan DM.

Sebenarnya, Wimala menjelaskan, sebelum dirinya masuk pun DM telah memiliki modal yang cukup baik di bidang TI. Hanya saja, ia menilai, fasilitas TI dan juga sistem yang ada masih terkotak-kotak; satu bagian dengan bagian lain harus diintegrasikan. “Ini salah satu tugas yang menantang saya,” katanya mengaku. Karenanya, begitu bergabung, ia langsung memetakan dan merumuskan mata rantai informasi di lingkungan DM. Ia juga membuat divisi khusus yang menangani TI dalam mata rantai tersebut yang didukung oleh fungsi manajemen korporat, baik dari sisi SDM maupun keuangan.

Dalam waktu dekat, Wimala dan timnya — total staf TI-nya sekitar 40 orang — akan membuat beberapa terobosan baru di bidang TI. Misalnya, mengembangkan fasilitas Ifocus (information for customer). Fasilitas ini didedikasikan untuk membantu bagian pemasaran dan medical representative agar bisa melayani konsumen lebih baik. Wimala dan timnya juga segera akan menghubungkan sistem TI di DM dengan para mitranya melalui satu aplikasi yang populer disebut supply chain management. Tak cukup sampai di situ, ia juga segera membenahi sistem informasi di bidang pengembangan SDM dengan membangun portal employee self-service. Fasilitas portal ini dibangun untuk menjembatani komunikasi antarkaryawan DM yang tersebar di lebih dari 35 lokasi di Indonesia.

Namun, Wimala menyadari, tugasnya tidaklah ringan. Ia harus memikirkannya mulai dari desain hingga implementasi. Untuk merumuskan berbagai terobosan tadi, setidaknya ia butuh waktu sebulan lebih, khususnya buat menganalisis proses bisnis yang terjadi. Jangan heran, kini aktivitasnya bertambah padat. Tak hanya berkutat di kantor pusat, ia juga kerap berkeliling ke cabang-cabang di berbagai daerah. Proses integrasi sistem antarbagian pun tak mudah.

Akan tetapi, terlepas dari berbagai persoalan yang ada, ia yakin sukses karena DM memiliki karyawan yang dinilainya bisa menerima perubahan, termasuk di bidang TI. “Tak terkecuali para direksinya,” katanya bangga. Ini memang terbukti. Tak lama setelah dirinya bergabung dan langsung melakukan perubahan, seluruh jajaran manajemen dan karyawan mendukung. Sayang, Wimala enggan menyebutkan besar dana untuk investasi dan pengembangan TI yang disiapkan timnya. “Soal bujet, sangat fleksibel. Selama bisa dipertanggungjawabkan, perusahaan sangat mendukung,” tuturnya diplomatis.

URL : http://www.swa.co.id/swamajalah/sajian/details.php?cid=1&id=2853